KEJAWEN
Berpindah dari desa islam tradisionalis menuju mistisisme jawa barangkali
adalah seperti dimaksudkan memasuki dunia yang berbeda. Walaupun kadang ada
mistifikasi dan cenderung paradoks, dunia lebih jelas diartikulasikan dan
direalisasikan dalam kehidupan sehari – hari ketimbang keseharian islam
praktis. Jika islam menjajikan surga dengan kerelaan ritual dan pengabdian
kepada al- quran, kejawen mengambil dunia sehari hari sebagai teks kuncinya dan
tubuh manusia sebagai kitab sucinya.
Semua orang jawa bayu adalah juga muslim dalam pengertian langsung dan
mereka ikut ambil bagian dalam kegiatan – kegiatan islam desa, perayaan hari
libur islam, ritus – ritus islam. Orang
– orang jawa secara sederhana dapat diidentifikasikan sebagai orang yang
cenderung menekankan bagian jawa dari warisan kultural mereka dan mengangap
afilisasi muslim mereka sebagi hal sekunder. Sedangkan dengan islam, ada tipe
yang relatif lebih murni (kejawen tapi juga santri) dan individu – individu
yang tidak terlalu taat. Orang – orang jawa tidak membentuk kelas atau kelompok
khusus didalam masyarakat pedesaan tetapi membentuk konstituensi yang longgar
dan kasar. Tidak ada kata benda kolektif yang berhubungan dengan istilah
kejawen.
Pembelajaran jawa mungkin
cenderung ke pengetahuan esotrik namun setidaknya dikonteks desa ini bukan
kesamaran atau jauh dari kehidupan manusia sehari – hari. Kebenaran penting
dianggap tersembunyi dibalik bentuk sehari – hari, terwujud didalm realitas
kelahiran, opulasi dan kematian. Karena itu pemula dikatakan telah
”mempraktekan” kawruh, namun belum bisa memahaminya. Agama ortodoks berdasr
pandangan ini adalah jalan yang keliru ke dunia lain, memberikan jawaban ritual
mengenai pseudo – problem. Seperti yang dikatakan oleh seorang mistikus,
”santri takut dosadan berdoa demi keselamatan adalah seperti orang yang
tersandung di jalan halus atau membenturkan kepalanya diudara.
Iman dominan resmi sering kali
berfungsi sebagai titik awal dalam diskusi mistik. Orang jawa berbeda dengan
islam dalam pengetahuan esoterik dalam soal lahir / batin, material / halus,
derivatif / orisinil, penanda / yang ditandai, ajaran / motivasi diri, an
literatis / simbolis. Nada islami dari kebanyakan mistisisme jawa berasal dari
pertentangan dan afinitas asli. Seseorang dapat menuju tasawuf sebagai sumber
dari pertentangan itu ( pandangan woodward ) namun bukan satunya pengaruh dan
kontras yang sama dalam tradisi lain menunjukan pertentangan mistisme dengan
agama konstitusional.
Kita telah melihat bahwa islam
menyediakan banyak bahasa, konsep, dan kategori kejawen ini tentu saja adalah
iklim opini. Orang jawa mengatasi kesulitan ini dengan memodifikasi makna islam
– menjadikanya universal. Isalam ”berarti” slamet, muslimin / muslimat
”berarti” pria dan wanita, Muhammad adlah tubuh, dan sebagainya. Diantara orang
jawa sekarang ini pengacakan makna ini di buat dengan tingkat penghormatan
kepada kepercayaan dominanan yang bervariasi. Bagi minoritas yang bermusuhan
dengan islam, pengingkaran kepada kewajiban skriptural adalah sejenis ketidak
percayaan karena ia salah mengambil tanda untuk realitas.
Kontras dengan islam adalah
penting, tetapi ini sebagian besar adalah persoalan formal dari gaya yang
berbeda. Orang jawa mencari kepentingan mereka di alam makna, etika dan
konstitusi pribadi, dan sebaian besar terlepas dari ajaran islam.
Arti Penting dari Simbol
Bagi orang Jawa, dunia
mengandung simbolisme, dan melalui simbol-simbol inilah seseorang merenungkan
kondisi manusia dan berkomunikasi dengan Tuhan.
Kejawen yang bertentangan
dengan ortodoksi santri, dalam kecondongannya pada simbolisme dan
antroposentrismenya yang jelas Islam berdiri sendiri. Seperti tradisi lainnya
yang masuk dalam lingkaran Jawa, dicetak untuk bentuk manusia, dalam pengertian
yang literal yang dimanusiakan. Sembilan Wali Sanga di Jawa didefinisakan
sebagai bentuk duniawi atau simbol sembilan lubang di tubuh manusia, gerbang ke
dunia batin dan jalan tembus dari indera. Empat malaikat penting ”adalah”
penglihatan, pendengaran, perasaan, dan ucapan. Mereka adalah empat penjaga
kesejahteraan kita seperti malaikat, mereka mempunyai ”sayap” yang sangat
lebar. Yang lebih kontroversial, Adam dan Muhammad adalah universal dimana
bentuk historisnya hanya merupakan contoh simbol khusus. Bahkan Qur’an pun
bersifat sekunder, benda lahiriah yang diturunkan dari asal-usul ”sejati”; dan
asal-usul itu bukan kitab Yang Terpelihara dalam ajaran Islam, tetapi Kitab
”basah” dari tubuh hidup. ”Mengaji” dari kitab ini adalah merenungkan
asal-usulnya atau mereproduksi teks-teksnya dengan hubungan seksual. Karena itu
pembelajaran berarti pencarian pengetahuan diri, bukan dalam pengertian
psikonoalitik atau eksistensialis populer tentang realisasi individualitas
seseorang, tetapi dalam pengertian yang berlawanan yakni realisasi
universalitas intrik, mengenai trivialitas.
Filsafat Kritis
Penekanan yang pragmatis dan
semi empiris ini bertentangan dengan pandangan santri tentang kebenaran sebagai
suatau yang termuat dalam tekas suci, di luar campur tangan manusia. Tujuan
dari Sangkan Paran. Prioritas yang diberikan kepada praktek dalam pemikiran
Jawa memberikan tujuan duniawi yang tidak dogmatik, memberi dasar diskusi
metafisika dalam pengalaman manusia (Geertz 1960; Stange 1980).
Manusia dan Tuhan
Dalam semesta antroposentris,
hubungan antara penyesuaian kembali secara radikal dari yang dikemukakan oleh
teisme ortodoks. Ada dua hal yang diadopsi tentang persoalan ini secara umum.
Pertama adalah perspektif religius yang dimulai dengan konsepsi tentang Tuhan
yang bertempat dalam manusia. Yang satunya lagi terutama bersifat filosofis,
yang dimualai dengan analisis tentang pengalaman dan sampai pada kesimpulan
bahwa diri yang mengalami atau beberapa prinsip yang hidup dalam diri adalah,
dalam beberapa pengertian inilah, ilahiah. Sebelum membahas ide-ide yang muncul
dalam perdebatan, mungkin akan membantu jika kita meletakkannya dalam definisi
Zoetmulder tentang panteisme dan monisme dalam pengantar untuk mognum
opusnya tentang literatur mistik Jawa.
Ambiguitas dalam Konsepsi
tentang Tuhan
Skema umum untuk
mempresentasikan tahap-tahap perkembanagan spiritual, dan, dengan analogi,
skala-skala dari jenis lain, diambil darai sufisme yang diajarkan di dalam
tradisi Jawa (Soebardi 1971 :341). Secara konvensional, ada empat tahap. Sare’at
mengacu kepada ketaatan pada hukum Islam, Syareah. Tarekat, kata yang juga
berarti persaudaraan Sufi, mengacu kepada jalan, yakni jalan mistrisme. Hakekat,
mengacu kepada realitas tersembunyi, Kebenaran. Dan ma’rifat yang
berarti gnosis ”Kesatuan Hamba dengan Tuhan” (manunggaling kawula gusti).
Namun bahasa umum, istilah ini tidak dipakai dalam pengertian yang ketat tetapi
secara longgar mengacu pada skala pemahaman atau derajat, sehingga syariat
berarti aturan dan regulasi realitas praktis atau sekedar cara melakukan
sesuatu, dan hakikat adalah sgnifikansi yang lebih dalam, Kebenaran. Jadi,
sariat dari slametan adalah organisasi praktisnya; hakekat adalah batinya.
Kiata bisa menyebutnya ”model pribumi” dari multivokalitas.
Sumber :
·
Beatty,
Andrew.2001.Variasi Agama di Jawa. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
·
Geertz. 1961. The Javanese family.
Glencoe. The Free Press.
·
Soebardi, S.1971. Santri-religious elements
as reflected in the book of Tjentini.
No comments:
Post a Comment