Tuesday 25 September 2012

KEJAWEN



KEJAWEN

Berpindah dari desa islam tradisionalis menuju mistisisme jawa barangkali adalah seperti dimaksudkan memasuki dunia yang berbeda. Walaupun kadang ada mistifikasi dan cenderung paradoks, dunia lebih jelas diartikulasikan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari – hari ketimbang keseharian islam praktis. Jika islam menjajikan surga dengan kerelaan ritual dan pengabdian kepada al- quran, kejawen mengambil dunia sehari hari sebagai teks kuncinya dan tubuh manusia sebagai kitab sucinya.
Semua orang jawa bayu adalah juga muslim dalam pengertian langsung dan mereka ikut ambil bagian dalam kegiatan – kegiatan islam desa, perayaan hari libur islam, ritus – ritus islam. Orang – orang jawa secara sederhana dapat diidentifikasikan sebagai orang yang cenderung menekankan bagian jawa dari warisan kultural mereka dan mengangap afilisasi muslim mereka sebagi hal sekunder. Sedangkan dengan islam, ada tipe yang relatif lebih murni (kejawen tapi juga santri) dan individu – individu yang tidak terlalu taat. Orang – orang jawa tidak membentuk kelas atau kelompok khusus didalam masyarakat pedesaan tetapi membentuk konstituensi yang longgar dan kasar. Tidak ada kata benda kolektif yang berhubungan dengan istilah kejawen.
Pembelajaran jawa mungkin cenderung ke pengetahuan esotrik namun setidaknya dikonteks desa ini bukan kesamaran atau jauh dari kehidupan manusia sehari – hari. Kebenaran penting dianggap tersembunyi dibalik bentuk sehari – hari, terwujud didalm realitas kelahiran, opulasi dan kematian. Karena itu pemula dikatakan telah ”mempraktekan” kawruh, namun belum bisa memahaminya. Agama ortodoks berdasr pandangan ini adalah jalan yang keliru ke dunia lain, memberikan jawaban ritual mengenai pseudo – problem. Seperti yang dikatakan oleh seorang mistikus, ”santri takut dosadan berdoa demi keselamatan adalah seperti orang yang tersandung di jalan halus atau membenturkan kepalanya diudara.
Iman dominan resmi sering kali berfungsi sebagai titik awal dalam diskusi mistik. Orang jawa berbeda dengan islam dalam pengetahuan esoterik dalam soal lahir / batin, material / halus, derivatif / orisinil, penanda / yang ditandai, ajaran / motivasi diri, an literatis / simbolis. Nada islami dari kebanyakan mistisisme jawa berasal dari pertentangan dan afinitas asli. Seseorang dapat menuju tasawuf sebagai sumber dari pertentangan itu ( pandangan woodward ) namun bukan satunya pengaruh dan kontras yang sama dalam tradisi lain menunjukan pertentangan mistisme dengan agama konstitusional.
Kita telah melihat bahwa islam menyediakan banyak bahasa, konsep, dan kategori kejawen ini tentu saja adalah iklim opini. Orang jawa mengatasi kesulitan ini dengan memodifikasi makna islam – menjadikanya universal. Isalam ”berarti” slamet, muslimin / muslimat ”berarti” pria dan wanita, Muhammad adlah tubuh, dan sebagainya. Diantara orang jawa sekarang ini pengacakan makna ini di buat dengan tingkat penghormatan kepada kepercayaan dominanan yang bervariasi. Bagi minoritas yang bermusuhan dengan islam, pengingkaran kepada kewajiban skriptural adalah sejenis ketidak percayaan karena ia salah mengambil tanda untuk realitas.
Kontras dengan islam adalah penting, tetapi ini sebagian besar adalah persoalan formal dari gaya yang berbeda. Orang jawa mencari kepentingan mereka di alam makna, etika dan konstitusi pribadi, dan sebaian besar terlepas dari ajaran islam.
Arti Penting dari Simbol
Bagi orang Jawa, dunia mengandung simbolisme, dan melalui simbol-simbol inilah seseorang merenungkan kondisi manusia dan berkomunikasi dengan Tuhan.
Kejawen yang bertentangan dengan ortodoksi santri, dalam kecondongannya pada simbolisme dan antroposentrismenya yang jelas Islam berdiri sendiri. Seperti tradisi lainnya yang masuk dalam lingkaran Jawa, dicetak untuk bentuk manusia, dalam pengertian yang literal yang dimanusiakan. Sembilan Wali Sanga di Jawa didefinisakan sebagai bentuk duniawi atau simbol sembilan lubang di tubuh manusia, gerbang ke dunia batin dan jalan tembus dari indera. Empat malaikat penting ”adalah” penglihatan, pendengaran, perasaan, dan ucapan. Mereka adalah empat penjaga kesejahteraan kita seperti malaikat, mereka mempunyai ”sayap” yang sangat lebar. Yang lebih kontroversial, Adam dan Muhammad adalah universal dimana bentuk historisnya hanya merupakan contoh simbol khusus. Bahkan Qur’an pun bersifat sekunder, benda lahiriah yang diturunkan dari asal-usul ”sejati”; dan asal-usul itu bukan kitab Yang Terpelihara dalam ajaran Islam, tetapi Kitab ”basah” dari tubuh hidup. ”Mengaji” dari kitab ini adalah merenungkan asal-usulnya atau mereproduksi teks-teksnya dengan hubungan seksual. Karena itu pembelajaran berarti pencarian pengetahuan diri, bukan dalam pengertian psikonoalitik atau eksistensialis populer tentang realisasi individualitas seseorang, tetapi dalam pengertian yang berlawanan yakni realisasi universalitas intrik, mengenai trivialitas.
Filsafat Kritis
Penekanan yang pragmatis dan semi empiris ini bertentangan dengan pandangan santri tentang kebenaran sebagai suatau yang termuat dalam tekas suci, di luar campur tangan manusia. Tujuan dari Sangkan Paran. Prioritas yang diberikan kepada praktek dalam pemikiran Jawa memberikan tujuan duniawi yang tidak dogmatik, memberi dasar diskusi metafisika dalam pengalaman manusia (Geertz 1960; Stange 1980).
Manusia dan Tuhan
Dalam semesta antroposentris, hubungan antara penyesuaian kembali secara radikal dari yang dikemukakan oleh teisme ortodoks. Ada dua hal yang diadopsi tentang persoalan ini secara umum. Pertama adalah perspektif religius yang dimulai dengan konsepsi tentang Tuhan yang bertempat dalam manusia. Yang satunya lagi terutama bersifat filosofis, yang dimualai dengan analisis tentang pengalaman dan sampai pada kesimpulan bahwa diri yang mengalami atau beberapa prinsip yang hidup dalam diri adalah, dalam beberapa pengertian inilah, ilahiah. Sebelum membahas ide-ide yang muncul dalam perdebatan, mungkin akan membantu jika kita meletakkannya dalam definisi Zoetmulder tentang panteisme dan monisme dalam pengantar untuk mognum opusnya tentang literatur mistik Jawa.
Ambiguitas dalam Konsepsi tentang Tuhan
Skema umum untuk mempresentasikan tahap-tahap perkembanagan spiritual, dan, dengan analogi, skala-skala dari jenis lain, diambil darai sufisme yang diajarkan di dalam tradisi Jawa (Soebardi 1971 :341). Secara konvensional, ada empat tahap. Sare’at mengacu kepada ketaatan pada hukum Islam, Syareah. Tarekat, kata yang juga berarti persaudaraan Sufi, mengacu kepada jalan, yakni jalan mistrisme. Hakekat, mengacu kepada realitas tersembunyi, Kebenaran. Dan ma’rifat yang berarti gnosis ”Kesatuan Hamba dengan Tuhan” (manunggaling kawula gusti). Namun bahasa umum, istilah ini tidak dipakai dalam pengertian yang ketat tetapi secara longgar mengacu pada skala pemahaman atau derajat, sehingga syariat berarti aturan dan regulasi realitas praktis atau sekedar cara melakukan sesuatu, dan hakikat adalah sgnifikansi yang lebih dalam, Kebenaran. Jadi, sariat dari slametan adalah organisasi praktisnya; hakekat adalah batinya. Kiata bisa menyebutnya ”model pribumi” dari multivokalitas.

Sumber :
·        Beatty, Andrew.2001.Variasi Agama di Jawa. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
·        Geertz. 1961. The Javanese family. Glencoe. The Free Press.
·        Soebardi, S.1971. Santri-religious elements as reflected in the book of Tjentini.

No comments:

Post a Comment