Tuesday 2 October 2012

WATU GAMPING



KAWASAN KARST

Perlu waktu puluhan juta tahun untuk membentuk gugusan terumbu karang dan mencuatkannya ke permukaan Bumi sebagai pegunungan karst. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mencanangkan kawasan eko-karst Gunung Sewu dan Gombong Selatan pada Desember 2004 seolah memberi harapan akan keberpihakan pemerintah pada kelestarian ekosistem, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan. Nyatanya, di lapangan kawasan perbatuan kapur tetap lebih dipandang dari sisi nilai ekonominya ketimbang sebagai benteng penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat.

Setelah beberapa tahun berlalu, gaung yang coba digemakan Presiden pun mulai meredup. Isu pelestarian karst tak dianggap menarik. Bentang alam perbatuan kapur yang merentang dari Aceh hingga Papua seluas 154.000 kilometer persegi itu oleh masyarakat umum dilihat sebagai perbukitan kering dengan sedikit kehidupan.Keringnya kawasan karst seolah menjadi pembenaran bagi siapa pun untuk mengambil manfaat ekonominya.

”Orang lupa bahwa di balik kawasan karst terdapat cadangan sumber air bersih berbentuk sungai bawah tanah, berbagai flora dan fauna, serta peninggalan arkeologi di beberapa gua tertentu,” kata Ketua Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung Budi Brahmantyo di Bandung.
Dalam istilah Eko Haryono, Ketua Program Studi Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada, karst selalu berasosiasi dengan sumber air. Sekalipun tampak kering di atasnya, di lereng bukit karst pasti terdapat mata air dengan debit luar biasa. ”Air dari karst ini memasok kebutuhan air penduduk dunia sekitar 25 persen,” ujar Eko yang juga peneliti di Karst Research Group Fakultas Geografi UGM.
Bahkan, untuk wilayah Jawa, Kusdarwanto, salah seorang pendiri Lembaga Karst Indonesia, memperkirakan 30-40 persen sumber air berasal dari kawasan karst. Sangat bisa dipahami jika kita menengok peta Pulau Jawa. Pegunungan karst membentang di selatan dari Ujung Kulon ke Sukabumi, Ciamis hingga Kebumen, lalu Wonosari hingga Tulung Agung. Begitu juga di bagian utara, terutama perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dari Blora, Purwodadi, Pati, Tuban, Gresik, sampai ke Madura.

Harta karun
Air di balik pegunungan karst ibarat harta karun. Tak semuanya muncul di permukaan dan mudah dijangkau. Membutuhkan penelusuran gua untuk mengetahui dari mana datangnya dan ke arah mana air mengalir. Secara garis besar, air datang dari hujan yang jatuh ke permukaan karst yang berpori dan bercelah. Ada yang membentuk bebatuan gamping melalui proses karstifikasi. Ada juga yang menetes dan jatuh membentuk danau serta sungai kecil.
Yang menarik, sungai bawah tanah itu kerap kali tak bisa ditelusuri dari awal sampai akhir. ”Penelusuran sungai bawah tanah kerap harus dikombinasikan dengan teknik menyelam karena ketika air masuk ke dalam lubang kerap kali antara permukaan air dan dinding gua menyatu,” kata tokoh karst Indonesia yang pernah meraih penghargaan Kalpataru tahun 2001, Robby Ko King Tjoen. Spesialis penyakit kulit yang akrab dipanggil dr Ko ini sejak tahun 1973 mendalami soal gua, termasuk di wilayah karst.
Kelompok penelusur gua Acintyacunyata Speleological Club (ASC) yang bermarkas di Yogyakarta, misalnya, telah banyak mendata potensi gua di Indonesia. Dalam survei tahun 2012 di Banyumas, mereka menghitung ada 15 gua karst dengan minimal 15 mata air. Bahkan, salah satunya bisa dipastikan telah membentuk sungai bawah tanah. ”Debitnya di musim hujan bisa mencapai 500 liter per detik,” tutur Bagus Yulianto, anggota ASC.
Kepala Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM Dodid Murdohardono mengakui, kekayaan air bawah tanah di seluruh Indonesia belum seluruhnya terpetakan. Padahal, peta ini penting sebagai salah satu dasar mengklasifikasikan pemanfaatan kawasan karst. Ringkasnya, bolehkah ditambang ataukah harus dilindungi?
REF     : http://regional.kompas.com/read/2012/05/04/04595288/Menambang.Karst.Mengubur.Kehidupan

No comments:

Post a Comment