KAWASAN KARST
Perlu waktu puluhan juta tahun
untuk membentuk gugusan terumbu karang dan mencuatkannya ke permukaan Bumi
sebagai pegunungan karst. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat
mencanangkan kawasan eko-karst Gunung Sewu dan Gombong Selatan pada Desember
2004 seolah memberi harapan akan keberpihakan pemerintah pada kelestarian
ekosistem, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan. Nyatanya, di
lapangan kawasan perbatuan kapur tetap lebih dipandang dari sisi nilai
ekonominya ketimbang sebagai benteng penting bagi keberlangsungan hidup
masyarakat.
Setelah beberapa tahun
berlalu, gaung yang coba digemakan Presiden pun mulai meredup. Isu pelestarian
karst tak dianggap menarik. Bentang alam perbatuan kapur yang merentang dari
Aceh hingga Papua seluas 154.000 kilometer persegi itu oleh masyarakat umum
dilihat sebagai perbukitan kering dengan sedikit kehidupan.Keringnya kawasan
karst seolah menjadi pembenaran bagi siapa pun untuk mengambil manfaat
ekonominya.
”Orang lupa bahwa di balik
kawasan karst terdapat cadangan sumber air bersih berbentuk sungai bawah tanah,
berbagai flora dan fauna, serta peninggalan arkeologi di beberapa gua
tertentu,” kata Ketua Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian Institut Teknologi Bandung Budi Brahmantyo di Bandung.
Dalam istilah Eko Haryono,
Ketua Program Studi Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada, karst
selalu berasosiasi dengan sumber air. Sekalipun tampak kering di atasnya, di
lereng bukit karst pasti terdapat mata air dengan debit luar biasa. ”Air dari
karst ini memasok kebutuhan air penduduk dunia sekitar 25 persen,” ujar Eko
yang juga peneliti di Karst Research Group Fakultas Geografi UGM.
Bahkan, untuk wilayah Jawa,
Kusdarwanto, salah seorang pendiri Lembaga Karst Indonesia, memperkirakan 30-40
persen sumber air berasal dari kawasan karst. Sangat bisa dipahami jika kita
menengok peta Pulau Jawa. Pegunungan karst membentang di selatan dari Ujung
Kulon ke Sukabumi, Ciamis hingga Kebumen, lalu Wonosari hingga Tulung Agung. Begitu
juga di bagian utara, terutama perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, dari
Blora, Purwodadi, Pati, Tuban, Gresik, sampai ke Madura.
Harta karun
Air di balik pegunungan karst
ibarat harta karun. Tak semuanya muncul di permukaan dan mudah dijangkau. Membutuhkan
penelusuran gua untuk mengetahui dari mana datangnya dan ke arah mana air
mengalir. Secara garis besar, air datang dari hujan yang jatuh ke permukaan
karst yang berpori dan bercelah. Ada yang membentuk bebatuan gamping melalui proses
karstifikasi. Ada juga yang menetes dan jatuh membentuk danau serta sungai
kecil.
Yang menarik, sungai bawah
tanah itu kerap kali tak bisa ditelusuri dari awal sampai akhir. ”Penelusuran
sungai bawah tanah kerap harus dikombinasikan dengan teknik menyelam karena
ketika air masuk ke dalam lubang kerap kali antara permukaan air dan dinding
gua menyatu,” kata tokoh karst Indonesia yang pernah meraih penghargaan
Kalpataru tahun 2001, Robby Ko King Tjoen. Spesialis penyakit kulit yang akrab
dipanggil dr Ko ini sejak tahun 1973 mendalami soal gua, termasuk di wilayah
karst.
Kelompok penelusur gua
Acintyacunyata Speleological Club (ASC) yang bermarkas di Yogyakarta, misalnya,
telah banyak mendata potensi gua di Indonesia. Dalam survei tahun 2012 di
Banyumas, mereka menghitung ada 15 gua karst dengan minimal 15 mata air. Bahkan,
salah satunya bisa dipastikan telah membentuk sungai bawah tanah. ”Debitnya di
musim hujan bisa mencapai 500 liter per detik,” tutur Bagus Yulianto, anggota
ASC.
Kepala Pusat Sumber Daya Air
Tanah dan Geologi Lingkungan Badan Geologi Kementerian ESDM Dodid Murdohardono
mengakui, kekayaan air bawah tanah di seluruh Indonesia belum seluruhnya terpetakan.
Padahal, peta ini penting sebagai salah satu dasar mengklasifikasikan
pemanfaatan kawasan karst. Ringkasnya, bolehkah ditambang ataukah harus
dilindungi?
REF : http://regional.kompas.com/read/2012/05/04/04595288/Menambang.Karst.Mengubur.Kehidupan
No comments:
Post a Comment